Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak
Islam turun sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, sebagaimana yang disebutkan Allah Taala
kepada Rasulullah saw.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً
لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus
kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. Al-Anbiya:
107)
Dengan misi yang sangat mulia itulah, dapat dipahami bahwa
syariat Islam akan memberikan perhatian
yang sangat tinggi terhadap segala hal
yang terkait dengan tindakan-tindakan yang akan membuahkan hasil berupa rahmatan
lil ‘alamin.
Sebagai salah satu dari implementasi misi rahmatan lil
‘alamin Islam sangat memperhatikan pola hubungan antar manusia (mu’amalah insaniyah).
Islam
memerintahkan umatnya untuk memuliakan keluarga sebagai bagian dari upaya
mewujudkan tata kehidupan sosial yang penuh dengan kedamaian dan sarat dengan
nilai-nilai kemanusiaan.
A.
Memuliakan
Keluarga
1. Hubungan suami-istri
Perhatian
terhadap keutuhan dan keharmonisan keluarga diingatkan dengan sangat jelas
dalam Al-Qur’an mengenai hakikat dan tujuan pembentukan keluarga itu sendiri.
Perhatikan firman Allah Taala dalam Ar-Rum: 21
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ
مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ
مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir.”
Dengan demikian, sakinah,
mawaddah dan rahmah merupakan suatu
kondisi yang hendaknya diciptakan oleh pasangan suami isteri di dalam rumah tangganya.Dan ini memerlukan suatu upaya yang sistematis dan
konstruktif dari kedua belah pihak. Tuntunan interaksi harmonis suami isteri
dapat kita lihat dalam beberapa pesan Al-Qur’an dan Hadis:
“… mereka itu adalah pakaian
bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka…” (Q.S. Al-Baqarah: 187)
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ
كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ
خَيْرًا كَثِيرًا
“Dan bergaullah dengan mereka
secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah)
karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak. “ - (QS An Nisaa:19)
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ
لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“…Sebab itu maka wanita yang
saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak
ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka...” (Q.S. An-Nisaa: 34)
“Tidakkah mau aku kabarkan
kepada kalian tentang sesuatu yang paling baik dijadikan bekal seseorang?
Wanita shalihah: jika dilihat (suami) menyenangkan dan jika (suami)
meninggalkannya ia menjaga dirinya dan harta suaminya.” (H.R. Abu Dawud dan
Nasa’i)
“ Janganlah seorang (suami)
mukmin membenci seorang (istri) mu’minah. Jika ia tidak suka dengan salah satu
perilakunya, ia dapat menerima perilakunya yang lain (H.R. Muslim)
“Takutlah kepada Allah dalam
(memperlakukan ) wanita karena kamu mengambil mereka dengan amanat Allah, dan
engkau halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Dan kewajibanmu adalah
memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan baik”
“Sesungguhnya aku berdandan
untuk istriku, sebagaimana dia berdandan untukku” (Perkataan Ibnu Abbas RA)
2. Memuliakan
anak
Memuliakan
keluarga juga berarti meningkatkan kualitas hubungan antara orang tua dan anak.
Dalam hal ini, patokan paling utama
adalah perintah Allah Taala kepada orang-orang beriman untuk menjaga
keselamatan keluarganya dari api neraka (Q.S. At-Tahrim: 6 ). Sungguh menjadi
kewajiban orang tua untuk menjadikan anak-anak mereka orang-orang yang beriman
dan beramal saleh. Memuliakan anak berarti memenuhi hak-hak mereka, bahkan
sejak awal kehidupan mereka dimulai yakni:
a. Menerima kelahiran
Menerima kelahiran
mereka dengan penuh sukacita, tidak boleh menolaknya. Sabda Nabi: Barang siapa
yang mengingkari anaknya, sedang anak itu mengetahuinya maka Allah akan menutup
diri dari orang itu. dan keburukannya akan ditunjukkan di hadapan orang-orang
terdahulu dan kemudian (H.R. Ad Darami).
b. Melantunkan adzan di
telinga kanan saat lahir ke dunia.
Aku melihat Rasulullah saw azan
di telinga Husein ketika dia baru saja dilahirkan oleh Fatimah ra. (H.R. al
Hakim)
c. Tahnik,
Yaitu sunnah yang
diajarkan Rasulullah SAW berupa pemberian makanan manis dan lembut di
saat-saat pertama kehidupan anak (bisa
dengan kurma atau madu)
d. Menyusuinya
dalam waktu yang cukup (2 tahun).
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ
أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya
selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” (Q.S.
Al-Baqarah:233)
e. Memberi
nama yang baik.
Imam Ibnu Qayim mengatakan bahwa ada hubungan yang erat
antara nama dengan kualitas anak. Pemberian nama yang baik akan mendorong yang
punya nama untuk berbuat baik sesuai dengan makna yang terdapat di dalam
namanya, karena nama yang diberikan orang tua mengandung do’a dan harapan.
Sebaliknya seorang anak akan merasa malu dan rendah diri apabila nama yang disandangnya buruk, atau
tiada makna.
f. Aqiqah:
Menyembelih hewan qurban untuk kelahiran mereka pada hari
ketujuh. Rasulullah saw. bersabda, “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua ekor
kambing yang memenuhi syarat dan bayi perempuan cukup dengan satu ekor kambing.”
(H.R. Ad-Darami)
g. Cukur rambut:
Pada hari yang ketujuh pula dilakukan pencukuran rambut, dan
menimbang rambut tersebut lalu dikonversi dalam satuan emas atau perak yang
selanjutnya disedekahkan kepada faqir miskin. “Timbanglah rambut al Husain dan sedekahkanlah perak seberat itu” (H.R. Al-Hakim)
h.
Khitan:
Dari segi medis
khitan jelas bermanfaat bagi kesehatan. Dengan khitan berarti sejak
kecil ia sudah dipelihara harga diri, kehormatan dan kesehatannya.
Selanjutnya memuliakan anak berarti juga memberikan
pendidikan yang baik kepada mereka. Al Qur’an secara monumental telah
mengisyaratkan pentingnya pendidikan anak ini melalui kisah Lukman ketika
sedang mendidik anaknya:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ
وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ
عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman
berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai
anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Q.S. Luqman:
13)
Dengan pendidikan yang benar menurut apa yang diajarkan
Allah Taala, maka anak akan menjadi individu yang mature dewasa dan bertanggung jawab, serta mampu memberikan
kontribusi yang optimal bagi kemaslahatan umat.
Kewajiban orang tua pada akhirnya disempurnakan dengan
membantu mereka dalam membangun keluarga dengan menikahkannya. Orang tua
berperan dalam memilih siapa calon suami/istri putra-putri mereka menurut
ukuran kebaikan Islam.
3. Memuliakan orang tua
Sedangkan bagaimana anak bersikap kepada orangtuanya, juga
sangat jelas diperintahkan Allah Taala:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا
إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ
الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا
تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ
الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia .Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka
dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu
terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai
Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik
aku waktu kecil.” (Q.S. Al-Isra: 23-24)
Bahkan Allah selalu mensejajarkan perbuatan mengabdi
kepada-Nya dan bertauhid dengan berbuat baik kepada orang tua:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا
بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun. Dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, ….”(QS An Nisa 36)
Ini menunjukkan
bahwa memuliakan kedua orangtua bukan perkara sepele. Rasulullah SAW bahkan
menegaskan bahwa memuliakan kedua orangtua terus berlanjut meskipun keduanya
telah tiada:
Abu Usaid (Malik) bin Rabi’ah
Assa’diyah berkata: Ketika kami duduk di sisi Rasulullah SAW mendadak datang
seorang dari Bani Salimah dan bertanya: Ya Rasulullah apakah masih ada jalan
untuk berbakti terhadap ayah bundaku sesudah mati keduanya? Jawab Nabi: Ya,
men-sholatkan atasnya, membacakan istighfar atas keduanya dan melaksanakan
janji (wasiat)nya, serta menghubungkan ikatan yang tidak dapat dihubungkan melainkan
karena keduanya, dan menghormati teman-teman keduanya (H.R. Abu Dawud)
B.
Menyayangi Anak dan Menciuminya
1 ـ عن أنس بن مالك ـ رضي الله عنه ـ قال : أََخَذَ
النَبٍي ـ صلى الله عليه وسلم ـ إبراهيم ، فَقَبَّلَهُ وشمَّهُ
رواه
البخاري..
Dari Anas bin Malik –ra. Berkata: Rasulullah saw
menggendong Ibrahim dan menciuminya. HR Al Bukhari
Ibnu Al
Baththal berkata:
يَجوزُ
تَقْبِيلَ الوَلَدِ الصغيرِ في كلِّ عَضُّو مِنْهُ ،وكذا الكبيرُ عند أكْثَرُِ العُلَماءِ
، مَالَ لَمْ يَكُنْ عَوْرِةُ ، فلا تُقَبِِلُ عورة الوَلَدِ
Diperbolehkan
mencium anak kecil, di semua anggota badannya. Demikian juga orang dewasa
–menurut mayoritas ulama-, kecuali auratnya. Maka tidak boleh hukumnya mencium
aurat anak.
أخذ النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ إبراهيم
Rasulullah mengambil
anaknya –Ibrahim- dari ibunya Mariyah Al Qibthiyah,
ُفَقَبَّلَه Mencium dengan mulutnya, وَشَمَّهُ
mencium dengan hidungnya, sepertinya ia adalah
ُ رِيحانَة: pengharumnya
Anak-anak itu
diciumi serasa parfum – sepertinya. Rasulullah saw menerangkan dua cucunya Al
Hasan dan Al Husain, dua putera Fatimah dengan kalimat:
هما ريحانتاي من الدنيا Keduanya adalah keharumanku
di dunia. HR Al Bukhari dari Ibnu Umar –ra.
Kalimat, ريحانتاي من الدنيا berarti bagian parfum duniawiku.
Itulah ciuman
yang Rasulullah saw lakukan kepada cucunya, menunjukkan cinta dan kasih
sayangnya.
Hadits ini menunjukkan cinta anak dan menciumnya.
2
ـ عن
أبي هريرة ـ رضي الله عنه ـ قال : قبل رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ الحسن بن
عليّ ، وعنده ـ الأقرع بن حابس التميمي ، جالساً ، فقال الأقرع : إن لي عشرة من
الولد ما قبلت منهم أحداً ، فنظر إليه رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ ، ثم قال
: " من لا يرحم لا يرحم " .رواه
البخاري .
Dari Abu
Hurairah ra- berkata: Rasulullah saw menciumi Al Hasan bin Ali, di hadapan Al
Aqra’ bin Habis At Tamimiy yang sedang duduk. Lalu Al Aqra’ berkata:
Sesungguhnya aku memiliki sepuluh anak, dan aku belum pernah menciumi seorang
pun. Lalu Rasululahn saw memandanginya dan bersabda: “Barang siapa yang tidak
menyayangi maka tidak akan disayangi” HR Al Bukhariy
Penjelasan:
Rasulullah saw
mencium Al Hasan bin Ali –ra. Putra Fathimah –ra.
Al Hasan lahir
pada tahun 2 (dua) Hijriyah.
Ketika itu Al
Aqra’bin Habis At Tamimiy sedang duduk berada di hadapan Rasulullah saw. Ia
seorang mu’allaf, sehingga Islamnya menjadi baik.
Rasulullah saw
melihatnya dengan pandangan yang kurang menyenangkan karena ia tidak pernah
mencium anaknya.
Kemudian
Rasulullah saw bersabda, untuk merubah sikapnya terhadap anak-anaknya, sehingga
anaknya merasakan kasih sayangnya dengan menciuminya.
من لا يرحم لا يرحم Barang siapa yang tidak
menyayangi maka ia tidak disayangi.
من لا يرحم لا يرحم Huruf ya pertama di baca fathah dan ya’
kedua dibaca dlammah. Boleh juga kedua ya’ dibaca rafa’ (huruf mim dibaca
dlammah) dengan menstatuskan kata “Man”
sebagai isim Maushul. Atau keduanya dibaca jazm (mim dibaca sukun/mati) dan
kata Man berstatus syarat. Namun pada umumnya para rawi membacanya dengan
rafa’.
Jawaban
Rasulullah kepada Al Aqra menunjukkan bahwa mencium anak itu bertujuan untuk
menunjukkan kasih sayang dan perhatian, bukan kelezatan atau syahwat.
Kata “rahmat”
kasih sayang dari sesama makhluk adalah kelembutan hati yang membuat seseorang
memuliakan, dan ihsan (berbuat baik).
Rahmat dari sesama makhluk adalah termasuk dalam amal shalih, sedangkan rahmat
dari Allah swt adalah balasan atas amal shalih yang dilakukan.
Sesungguhnya
orang yang berfikir dan bersemangat untuk membuat kebaikan pada dirinya sendiri
akan berusaha agar rasa kasih sayang itu menjadi akhlak dan kepribadiannya,
agar mendapatkan rahmat Allah dan kasih sayang sesama manusia. Barang siapa
yang menyayangi ia akan disayangi, dan sebaliknya; barang siapa yang tidak
menyayangi maka tidak disayangi.
Dari hadits di atas dapat disimpulkan antara lain:
- Masyru’iyyah (disyariatkannya) mencium anak, dan
hal ini adalah sunnah Nabi yang mulia.
- Orang
yang tidak menyayangi sesama manusia dan makhluk hidup lainnya akan
terhalang dari rahmat Allah, dan kasih sayang sesama manusia. Karena
balasan itu serupa dengan amalnya.
- Orang
yang menyayangi orang lain mendapatkan keberuntungan rahmat Allah dan
kasih sayang sesama manusia yang akan menjadi penolong di kala sempit dan
pembela pada saat yang dibutuhkan.
C. Hak Anak Perempuan
Dan orang yang mendapatkan rahmat Allah, ia akan
hidup dengan kehidupan yang baik, mendapatkan nikmat lahir batin, dan akan
berakhir dengan kebaikan (husnul khatimah).
3 ـ
عن عائشة زوج النبي ـ صلى الله عليه
وسلم ـ قالت : جاءتني امرأة معها ابنتان تسألني ، فلم تجد عندي غير تمرة واحدة
فأعطيتها ، فقسمتها بين ابنتيها ، ثم قامت فخرجت ، فدخل النبي ـ صلى الله عليه
وسلم ـ ، فحدثته ، فقال : ما يلي من هذه البنات شيئاً فأحسن إليهم كن له ستراً من
النار . رواه
البخاري ، ومسلم ، الترمذي
.
Dari Aisyah
–isteri Rasulullah saw- berkata: Telah datang padaku seorang wanita bersama
dengan dua orang anaknya meminta sesuatu kepadaku. Aku hanya memiliki sebutir korma, lalu aku berikan padanya.
ibu itu kemudian membaginya untuk kedua anaknya, lalu pergi. Kemudian
Rasulullah saw datang dan aku ceritakan kepadanya. Nabi bersabda: barangsiapa yang
dikaruniai anak-anak perempuan lalu
berbuat baik kepada mereka, maka anak-anak itu akan menjadi penghalangnya dari
neraka. HR Al Bukhari, Muslim dan At Tirmidzi
Penjelasan:
معها ابنتانMembawa dua anaknya
تسألني فلم تجد عندي تمرة واحدة
فأعطيتها Ia memintaku, lalu aku tidak temukan kecuali sebutir
kurma, lalu aku berikan kepadanya. Hal ini menunjukkan kedermawanan Ummul
Mukminin Aisyah –ra. Ketika tidak ada sesuatupun yang bisa diberikan kecuali
sebutir kurma, ia lebih prioritaskan untuk wanita itu, daripada dirinya
sendiri.
فقسمتها بين ابنتيها Kemudian wanita itu membaginya untuk kedua
anaknya. Secara tekstual hadits ini menerangkan bahwa ibu itu tidak makan
sedikitpun. Seorang ibu yang
memprioritaskan anaknya daripada dirinya adalah bentuk kasih sayang yang tidak
diragukan lagi.
ثم قامت فخرجت Kemudian wanita itu bangkit dan keluar,
bersama dengan kedua anaknya dari rumah Aisyah –ra.
" فدخل النبي ـ صلى
الله عليه وسلم ـ فحدثته Kemudian Rasulullah saw
masuk, lalu Aisyah –ra menceritakan hal ini kepadanya.
Lalu
Rasulullah saw bersabda: من يلي " dari kata: الولاية : menguasai. Dalam riwayat lain من بُلى huruf ba’ dibaca
dhammah, dari kata: البلاء
: ujian.
Dalam riwayat lain من ابتلى : barang siapa yang
diuji.
Artinya barang siapa yang diuji seperti ujian
anak-anak ini; untuk dinilai; apakah akan memperlakukan mereka dengan baik atau
tidak baik. Maka pahala akan diberikan kepada pelaku kebaikan kepada satu anak
perempuan sebagaimana balasan kebaikan itu akan diperoleh pelaku kebaikan
kepada lebih dari satu anak perempuan. Berbuat baik kepada anak antara lain
dengan infaq (membiayai) ta’dib ( mendidik) dsb.
Secara zhahir; pahala yang disebutkan di atas itu
akan diperoleh pelaku kebaikan sehingga anak itu mandiri dengan menikah atau
lainnya.
" كن له
ستراً " Mereka
menjadi penghalang. Dalam riwayat lain: كن له حجاباً mereka menjadi hijab
(penutup). Kata satr dan hijab memiliki makna yang sama.
Hadits ini menegaskan tentang hak anak perempuan.
Karena pada umumnya mereka lemah dalam memenuhi kebutuhan pribadinya. Berbeda
dengan laki-laki, yang secara fisik lebih kuat, lebih cair dalam berfikir,
mampu memenuhi kebutuhannya, pada umumnya.
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran:
- Orang
yang sangat membutuhkan diperbolehkan meminta-minta. Seperti yang
dilakukan oleh ibu dari dua anak perempuan tadi kepada Aisyah ra
- Sebaiknya
bersedekah dengan apa yang ada, sedikit atau banyak. Seperti yang
dilakukan oleh Aisyah ra, dengan sebutir kurma. Kurang berharganya sebutir kurma itu tidak
menghalanginya dari bersedekah.
- Diperbolehkan
menceritakan kebaikan yang dilakukan, selama tidak bertujuan untuk
membanggakan diri dan membangkit pemberian. Seperti yang dilakukan oleh
Ummul Mukminin Aisyah ra dalam bercerita kepada Rasulullah tentang wanita
itu dan kedua anaknya.
- Sesungguhnya
menyayangi anak perempuan dan berbuat baik kepadanya akan menjaga dari
apai neraka, yang menjadi pekerjaan orang-orang baik untuk berusaha
terlindung dan selamat darinya.
D. Allah
sangat menyayangi anak melebihi kasih sayang ibu terhadap anaknya
4 ـ عن عمر بن الخطاب ـ رضي الله عنه ـ قال : قدم
على النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ سبى ، فإذا امرأة من السبي قد تحلب ثديها تسعى :
إذا وجدت صبياً في السبي ـ أخذته فألصقته ببطنها ، وأرضعته ، فقال لنا النبي ـ صلى
الله عليه وسلم ـ " أترون هذه طارحة ولدها في النار ؟ قلنا : لا ،وهي تقدر
على ألا تطرحه . فقال : لله أرحم بعباده من هذه بولدها " . رواه البخاري ومسلم
Dari Umar bin
Al Khaththab ra- berkata: Didatangkanlah para tawanan perang kepada Rasulullah
saw. Maka di antara tawanan itu terdapat seorang wanita yang susunya siap
mengucur berjalan tergesa-gesa –sehingga ia menemukan seorang anak kecil dalam
kelompok tawananan itu- ia segera menggendong, dan menyusuinya. Lalu Nabi Muhammad
saw bersabda: Akankah kalian melihat ibu ini melemparkan anaknya ke
dalam api? Kami menjawab: Tidak, dan ia mampu untuk tidak melemparkannya. Lalu
Nabi bersabda: Sesungguhnya Allah lebih sayang kepada hamba-Nya, melebihi
sayangnya ibu ini kepada anaknya, HR. Al Bukhari dan Muslim.
Penjelasan:
قدم Qaf dibaca dhammah,
berbentuk Mabni Majhul (didatangkan)
سبى Tawanan dari Hawazin
تحلب Ha’
dibaca fathah dan lam diberi tasydid. ثديها
Berbentuk mufrad (kata tunggal) dibaca rafa’ sebagai fa’il; telah mengalir air
susu darinya. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata –dalam Fathul Bari- siap
mengeluarkan susu.
تسعى A’in dibaca fathah, dari kata sa’i (berjalan
cepat) mencari anaknya yang hilang.
إذا وجدت صبياً في السبي ـ أخذته
فألصقته ببطنها ، وأرضعته Ia dapatkan seorang anak kecil dalam kelompok tawanan itu, ia mengambilnya
lalu memeluknya dan menyusuinya. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam
Fathul-Bari, setelah kalimat itu –
فوجدت
صبياً ، فأخذته فألزمته بطنها
Artinya: Wanita itu bergegas berjalan mencari
anaknya yang hilang. Ia resah dengan air susunya yang telah terkumpul di buah
dadanya –ketika ia menemukan anak kecil ia
ambil dan ia susuinya, untuk meringankan air susunya, lalu menemukan
anak kecil lagi –dan itulah anaknya sendiri- ia ambil dan ia peluk dalam perutnya
dan menyusuinya. Lalu Rasulullah saw bersabda:
أترون
ta’ dibaca fathah artinya: apakah kamu menyangka wanita itu melemparkan anaknya
ke dalam api. Kami jawab. Tidak mungkin ia lemparkan anaknya ke dalam api.
Lalu Rasulullah saw bersabda: لله lam pertama dibaca,
lam taukid (penegasan). Sesungguhnya Allah lebih sayang kepada hamba-Nya
melebihi wanita itu sayang kepada anaknya. Allah tidak akan melemparkannya ke
neraka karena sangat sayang kepada mereka.
العباد Para hamba yang dimaksudkan adalah kaum
mukminin yang bertaqwa yang beramal shalih. Seperti firman Allah:
156. Dan tetapkanlah
untuk kami kebajikan di dunia Ini dan di akhirat; Sesungguhnya kami kembali
(bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman: "Siksa-Ku akan Kutimpakan
kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka
akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan
zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat kami".
157. (yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi
yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil ....QS. Al A’raf.
hadits ini dikuatkan pula oleh riwayat Imam Ahmad
dan Al Hakim dari Anas, ra, berkata:
" مر النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ في نفر
من أصحابه ـ وصبى على الطريق ـ فلما رأت أمه القول ـ خشيت على ولدها أن يوطأ ،
فأقبلت تسعى ، وتقول : ابني . ابني ، وسعت ، فأخذته ، فقال القوم : يا رسول
الله ، ما كانت هذه لتلقي ابنها في النار
، فقال : ولا الله بطارح حبيبه في النار ، فقال : ولا الله بطارح حبيبه في النار
"
Rasulullah saw melintasi sekelompok sahabatnya
–ada seorang anak kecil di tengah jalan. Ketika ibunya melihat hal itu, ibu itu
ketakutan bahwa anaknya akan jatuh, lalu ia bergegas menghampiri dan
memanggil-manggil: anakku-anakku, ibu itu berjalan cepat, dan mengambilnya.
Para sahabat bertanya: Ibu ini tidak akan melemparkan anaknya ke dalam api.
Rasulullah saw bersabda: Dan Allah tidak akan melemparkan kekasihnya ke dalam
api neraka. Dan Allah tidak akan melemparkan kekasihnya ke dalam api neraka.
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran:
- Tidak ada seorangpun yang lebih
sayang melebihi Allah. Allah swt lebih sayang dibandingkan dengan orang
yang harus menyayangi. Tidak pernah ada dalam makhluk Allah yang lebih
sayang dari ibunya. Dan Rasulullah saw
bersabda: Allah lebih sayang dari pada ibu itu menyayangi anaknya.
- Boleh melihat tawanan wanita.
Rasulullah saw tidak melarang melihat wanita dalam hadits di atas. Bahkan
dalam hadits tadi termuat pembolehan melihatnya.
- Penggunaan contoh sebagai alat bantu,
sehingga bisa ditangkap secara fisik untuk hal-hal yang tidak mudah
difahami, agar mendapatkan pengertian yang tepat, meskipun yang dijadikan
contoh sesuatu yang tidak akan dapat terjangkau hakekatnya. Itulah rahmat
Allah yang tidak akan terjangkau oleh akal. Walau demikian Rasulullah saw
mendekatkan pemahaman itu kepada para pendengar dengan keadaan wanita
tersebut.
- Pemanfaatan kesempatan untuk
menyampaikan dakwah. Rasulullah saw memanfaatkan kesempatan perhatian para
sahabat terhadap fenomena kasih sayang ibu kepada anaknya, lalu dialihkan
kepada kasih sayang yang lebih besar, untuk memenuhi kebutuhannya, dan
menjadi tempat bergantung dalam semua urusan.
E.
Meletakkan Anak dalam pelukan atau Pangkuan
عن
عائشة ـ رضي الله عنها ـ " أن النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ وضع صبياً في
حجره يُحنكه ، فبال عليه ، فدعا بماء فأتبعه " رواه البخاري .
Dari Aisyah ra, bahwa Nabi Muhammad saw meletakkan
anak kecil di pelukannya kemudian mentahniknya (menyuapi dengan kurma
yang telah dukunyahnya), lalu anak itu kencing di pelukannya, lalu meminta air
dan mengguyurnya. HR. Al Bukhariy
Penjelasan:
عن عائشة ـ Isteri Nabi
Muhammad saw
أن النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ وضع
صبياً Sesungguhnya Nabi
Muhammad saw meletakkan anak kecil, yaitu Abdullah bin Az Zubair, seperti yang
diriwayatkan oleh Ad Daru Quthniy, atau anak itu adalah Al Husain bin Ali
seperti dalam riwayat Al Hakim.
حجره Ha’
dibaca kasrah, ada pula yang membacanya fathah, dan jim dibaca sukun/mati. Keterangan
keadaan ketika Nabi يُحنكه mentahniknya, yaitu menyuapinya kurma setelah kurma
itu dikunyahnya, untuk mendapatkan berkah ludah Nabi Muhammad saw, yang
bercampur dengan rasa kurma yang manis.
فبال عليه Lalu anak itu mengencingi bajunya, فدعا بماء فأتبعه lalu Nabi mengguyur bekas
kencing itu dengan air.
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran, antara
lain:
- Menyayangi
anak kecil, dan memperhatikannya. Nabi Muhammad saw meletakkan anak itu
dalam pelukannya dan mentahniknya
- Bersabar
menghadapi prilakunya, tidak membalasnya, karena belum mukallaf
(bertanggung jawab).
عن
أسامه بن زيد ـ رضي الله عنهما ـ قال : " كان رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم
ـ يأخذني فيقعدني على فخذه ، ويقعد الحسن ابن عليّ على فخذه الأخرى ، ثم يضمهما ،
ثم يقول : اللهم ارحمهما ، فإني أرحمهما " رواه
البخاري
Dari Usamah bin Zaid –ra, berkata: Rasulullah saw
pernah mengangkatku dan mendudukkan aku di atas pahanya, dan Hasan bin Ali
duduk di paha yang lain, kemudian Rasulullah saw memeluk kami berdua, dan
bersabda: Ya Allah sayangilah keduanya, karena sesungguhnya aku menyayanginya.
HR. Al Bukhariy
Penjelasan:
عن أسامه بن زيد
Dari Usamah bin Zaid bin Haritsah, dipanggil pula
الحِب ابن الحِب kesayangan putra kesayangan Rasulullah saw, -lalu
Rasulullah mendudukkan aku di atas pahanya dan Al Hasan bin Ali duduk di paha
lainnya. Hal ini menunjukkan perhatian dan cinta Rasulullah kepada keduanya.
Usamah lebih tua dari Al Hasan. Mayoritas pendapat tentang umur Al Hasan
adalah ketika Rasulullah saw wafat ia berusia
8 (delapan) tahun, sedangkan Usamah ketika itu berusia 19 (sembilan
belas) tahun. Rasulullah saw memeluk keduanya kemudian berdoa: ”Ya Allah
sayangilah keduanya, karena sesungguhnya kami menyayanginya dan mengasihinya.
Hadits ini berisi tentang keutamaan Usamah bin
Zaid dan Hasan bin Ali, dengan curahan cinta Rasulullah saw kepada keduanya.
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran, antara
lain:
Bahwa meletakkan anak kecil di pangkuan adalah
salah satu bentuk rahmat dan kasih sayang. Hal ini membuktikan rasa cinta.
F. Larangan Membunuh Anak Karena takut
dikurangi makananannya
عن عبد الله بن مسعود ـ رضي الله
عنه ـ قال : " قلت : يا رسول الله . أي الذنب أعظم ؟ قال : أن تجعل لله ندا ـ
وهو خلقك ـ ثم قال : أي ؟ قال : أن تقتل ولدك ، خشية أن يأكل معك . قال : ثم أي ؟
قال : أن تزاني حليلة جارك . وأنزل الله تعالى تصديق قول النبي صلى الله عليه وسلم
" والذين لا يدعون مع الله إلهاً
آخر " . ()
رواه البخاري .
Dari Abdullah bin Mas’ud –ra berkata: Aku
bertanya: Ya Rasulallah, dosa apakah yang paling besar? Rasulullah saw
menjawab: Engkau menjadikan sekutu bagi Allah –padahal Allah yang telah menciptakanmu.
Kemdian apa lagi? Jawabnya: Engkau membunuh anakmu karena takut ia makan
makananmu. Kemudian apa lagi? Jawabnya: Engkau berzina dengan isteri
tetanggamu. Dan Allah turunkan ayat yang membenarkan ungkapan Rasulullah ini:
68. Dan orang-orang yang
tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak
berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat
(pembalasan) dosa(nya), QS. AL Furqan
Penjelasan:
" باب
النهي عن قتل المرء ولده خشية أن يأكل معه "
Membunuh anak adalah perbuatan terlarang secara
umum, tidak hanya karena takut makan bersama saja. Akan tetapi jika ada
larangan membunuh anak karena takut makan bersama, maka karena alasan lainnya,
lebih harus dilarang.
نداً sekutu, وهو خلقك Hanya Allah yang telah menciptakanmu, lalu
bagaimana mungkin kamu mensekutukannya? Maha suci Allah dari apa yang mereka
sekutukan. Lalu Ibnu Mas’ud menanyakan dosa apa lagi yang lebih besar.
Rasulullah saw menjawab:
أن تقتل ولدك خشية أن يأكل معك
Engkau bunh anakmu karena takut makan bersamamu. Kenapa ada ketakutan seperti
ini, yang menyebabkan dosa yang sangat besar? Sedangkan Allah menjamin:
31. Dan janganlah kamu
membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki
kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa
yang besar. QS. Al Isra’
Ibnu Mas’ud bertanya lagi: Lalu dosa apa lagi yang
sangat besar? Jawab Nabi: Kamu berzina dengan isteri tetanggamu. Karena
perbuatan ini mengandung penodaan besar kepada orang yang seharusnya dihormati,
yaitu tetangga.
Allah swt menurunkan ayat yang membenarkan
ungkapan Rasulullah ini dalam surah AL Furqan:
68. Dan orang-orang yang
tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak
berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan)
dosa(nya),
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran antara
lain:
Larangan mensekutukan Allah, membunuh anak, dan berzina dengan isteri tetangga. Dan
diterangkan dengan adanya dosa yang sangat besar.
Sumber : di ambil dari materi Tarbiyah ( Minhaj Tarbiyyah Marhalah Muayyid )